Selasa, 28 November 2017

Esplanade – Teater di Teluk Singapura



Metode Kritik Arsitektur
Kritik Normatif : Kritik yang disampaikan berdasarkan pada standart dan peraturan yang ada.

Kritik Penafsiran : Kritik yang bersifat subjektif dalam menanggapi sebuah karya yang dipergunakan untuk menghasilkan sebuah kritikan yang cenderung memberikan pandangan baru. Terdiri dari :
  1. Kritik Advokasi :  Pembelaan terhadap sebuah karya arsitektur, yaitu memberikan kritikan berupa hal positif dari karya tersebut, bukan untuk menjelekan suatu karya.
  2. Kritik Evokatif : Mengangkat kelebihan atau sisi baik suatu karya yang bertujuan untuk mengungkapkan daya tarik suatu karya secara emosional.
  3. Kritik Impresionistik : Memberikan suatu kesan terhadap sebuah karya sehingga dapat mempengaruhi untuk membuat sebuah karya yang lebih baik lagi dari sebelumnya.

Kritik Deskriptif : Penjelasan atau menggambarkan suatu karya sesuai dengan apa yang dilihat secara lebih terperinci. Terdiri dari :

1.      Kritik Penjelasan : Memberikan gambaran terhadap  baik buruknya sebuah karya sesuai dengan faktanya.
2.      Kritik Biografis : Kritik yang ditujukan kepada tokoh pembuat sebuah karya.
3.   Kritik Kontekstual : Membahas mengenai konteks pengaruh sosial, politik, ekonomi dan budaya terhadap sebuah karya arsitektur sehingga dapat terpengaruhi langgam/gaya bangunan.



--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Esplanade – Theatres on the Bay Singapore

Esplanade – Theatres on the Bay adalah salah satu icon negara Singapura. Letaknya persis bersebelahan dengan Patung Merlion yang berada di Merlion Park. Esplanade dibuka pada 12 Oktober 2002, dibangun dengan biaya S$ 600 juta atau sekitar 3,6 trilyun. Bangunan ini berdiri di atas lahan seluas 6 hektar, menghadap ke pantai Marina Bay. Esplanade memiliki Concert Hall dengan 1.600 kursi penonton, dan stage yang mampu menampung 120 pemain musik.


Di tahun 1992, terpilih sebuah tim yang terdiri dari perusahaan lokal terkenal DP Architects (Singapura) dan Michael Wilford & Partners (Inggris) untuk memulai pekerjaan pembangunan pusat seni tersebut. Untuk mempertahankan keterkaitan antara masa lalu dan masa kini, pusat seni ini akhirnya dinamakan Esplanade – Theatres on the Bay.
Esplanade bertujuan untuk menjadi pusat seni pertunjukan bagi semua kalangan, dan program-programnya menjangkau ke ragam audiens yang luas. Susunan programnya mencakup segala genre, termasuk musik, tari, teater dan seni visual, dengan fokus khusus pada budaya Asia.


Saat ini, icon arsitektur dengan rangka kembarnya yang unik ini berlokasi di dalam distrik pemerintahan Singapura, tepat di tepi Marina Bay di mulut Singapore River. Dua kubah yang menjadi lokasi Teater dan Concert Hall dirancang dengan bahan kaca, untuk memberi kesan terbuka.


Agar pusat seni tetap dingin di suhu tropis, lebih dari 7.000 keping penahan matahari dari aluminium bersama dengan rangka penutup berlapis glazur ganda dipasang pada rangka penopang baja untuk membentuk penutup yang menjadikan pusat seni ini sebuah ikon arsitektur mempesona, di depan cakrawala kota Singapura. Penutup berbentuk duri itu akhirnya menjadi nama sebutan yang populer berdasarkan buah favorit masyarakat lokal, Durian.


Esplanade Outdoor Theatre, menghadap langsung Marina Bay dan memiliki panjang sekitar 300m, theatre outdoor ini memiliki kapasitas tempat duduk sekitar 450 hingga 600 (berdiri) orang. Tempat ini sering dijadikan tempat pertunjukan dari berbagai aliran musik hingga tari-tarian dan juga seni theatre yang bisa kita tonton sambil menikmati suasana laut yang menyegarkan dan juga pemandangan yang menakjubkan.



----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kritik :

Gedung Esplanade – Theatres on the Bay Singapore adalah sebuah karya Arsitektur yang luar biasa. Bangunan ini dirancang untuk menjawab permasalahan yang ditimbulkan oleh iklim tropis, Esplanade Singapore  bukan saja menarik secara estetika, namun juga dapat mengatasi permasalahan iklim tropis setempat, terutama dengan memperhatikan posisi matahari sebagai sumber kalor yang diterima bangunan.
Ide bentuk bangunan yang diambil pun sangat unik, yaitu dari bentuk buah tropis Durian. Disini arsitek merancang bagaimana bentuk dari duri-duri durian yang lancip tersebut bukan hanya sebagai estetika belaka saja, tetapi juga didesain sebagai jendela yang mana memanfaatkan cahaya alami dan sirkulasi udara.
Dikarenakan letak Esplanade berada dipinggir pantai/teluk, maka suhu udara pun sangat lah panas. Bagaimana caranya menggunakan material kaca tetapi suhu bangunan tetap dingin?
Untuk meredam suhu panas yang akan masuk kedalam bangunan, sang arsitek menggunakan sebuah teknologi bahan dalam penggunaan material fasad penutup gedung durian itu. Penggunaan kepingan penahan  sinar matahari dari aluminium bersama dengan rangka penutup berlapis glazur ganda mampu menjawab permasalahan iklim yang terdapat di tempat itu.
 Hal tersebut membuat Esplanade menjadi contoh karya arsitektur tropis yang baik, yang mana memperhatikan bentuk (estetika), teknologi, kenyamanan dan penggunaan energi.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sumber dan referensi :






Rabu, 01 November 2017

Kritik Arsitektur - Lippo Plaza Bogor




Kritik Arsitektur Mengenai Bangunan Pusat Perbelanjaan 
“Lippo Plaza Bogor”



Kota Bogor adalah kota tua. Penyebutan pertama tentang Bogor berasal dari catatan Belanda bertanggal 7 April 1752 yang menyebut Ngabei Raksacandra sebagai kepala kampung Bogor.
Pemerintah Belanda menjadikan Bogor sebagai tempat riset pertanian tropis karena Indonesia memiliki berjenis tanaman yang penting untuk ekonomi Belanda dan Eropa. Kebun Raya Bogor menjadi tempat koleksi tanaman bernilai ekonomi itu. Tak heran bila kampus Fakultas Pertanian IPB berseberangan dengan Kebun Raya Bogor dan Bogor punya citra sebagai kota pertanian. Asrama tentu saja menjadi bagian dari keberadaan kampus-kampus tersebut.
Namun pandangan masyarakat saat ini mengatakan bahwa kota Bogor telah berubah. Kota adalah cerminan masyarakat. Bila masyarakat berubah, maka kota akan berubah. Begitu juga Bogor, kota yang hanya berjarak 40 kilometer dari Jakarta. Di antara penanda (“landmark”) kota tua ini, yang paling terkenal tentu saja Istana Presiden, Kebun Raya Bogor, dan kampus pusat Institut Pertanian Bogor atau IPB di Jalan Raya Pajajaran.
Pada perkembangannya, tarik-menarik pemikiran terus terjadi di Bogor. Visi dan misi kota Bogor saat ini berubah dan berkembang menjadi kota jasa, yang sebelumnya pada satu waktu pernah dicanangkan sebagai “kota dalam taman”, sayang penerjemahannya tidak jelas.
Terkait dengan perubahan kota, banyak bangunan-bangunan bersejarah yang sekarang beralih fungsi, yang salah satunya adalah bangunan pusat perbelanjaan atau Mall. Bagi Wali Kota Bogor Diani Budiarto, mal hanyalah satu komponen pendukung visi Kota Bogor sebagai kota jasa, maka ia akan membatasi jumlah mal paling banyak sepuluh saja.

Lippo Plaza Bogor


Mungkin Anda pernah bingung ketika diajak saudara atau teman yang tinggal di Bogor pergi ke Eka Lokasari Plaza tetapi kemudian Anda dibawa ke sebuah mall yang dengan jelas bertuliskan LIPPO PLAZA.
Sebelumnya, Plaza ini bernama Ekalokasari Plaza atau dikenal dengan Elos. Namun, pada tahun 2015 berubah nama menjadi Lippo Plaza Bogor. Lippo Plaza Bogor adalah salah satu pusat perbelanjaan atau Mall terkemuka di Bogor. Mall ini terletak di Pertigaan dimana ujung Jalan Pajajaran, Jalan Siliwangi dan Jalan Tajur bertemu, Sukasari Bogor Timur, Bogor.
Gambar Plaza Eka Lokasari

Adanya kedua nama itu, Eka Lokasari Plaza dan Lippo Plaza disebabkan karena terjadi pergantian kepemilikan. Nama pertama diambil dari nama sebuah asrama milik Institut Pertanian Bogor. Setelah beberapa tahun yang lalu kepemilikan mall ini beralih ke Lippo Group, maka namanya kemudian berganti menjadi Lippo Plaza.
Megatika ditinjuk sebagai Arsitek dalam proyek Mall ini sedangkan Adhikarya ditunjuk sebagai konsultan struktur, mechanical engineering dan kontraktor utama, pengembang dan operator mall dari anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), Lippo Malls. Mall baru ini mengincar masyarakat kalangan menengah ke atas.

Jika ditinjau dari sejarahnya, bangunan ini tidak hanya berganti nama dari Mall Ekalokasari menjadi Lippo plaza. Mall Ekalokasari/Lippo Plaza di Jalan Siliwangi ini asalnya adalah Asrama Mahasiswa IPB (Asrama IPB Sukasari), sementara Botani Square mengambil ruang-ruang kuliah mahasiswa tingkat satu, lapangan olahraga, sebagian Fakultas Pertanian dan Fakultas Perikanan, serta Asrama Putri IPB (APIPB). Namun banyak masyarakat yang saat ini tidak mengetahui akan sejarah itu. Kenangan seperti tak bisa dicari lagi penanda fisiknya karena APIPB dan Ekalokasari sudah berubah jadi mall. Kenangan akan Kota Bogor, kampus, dan asrama adalah romantisme yang sulit berulang.

Gambar : Asrama IPB Sukasari

Melihat Bogor saat ini tidak heran bila kota ini disebut berubah tanpa perencanaan. “Perubahan kota ini tanpa perencanaan sehingga tumbuh tak seimbang. Contohnya, permukiman, jumlah penduduk dan kendaraan bertambah, tetapi jalan tidak tumbuh sama cepat. Macet di mana-mana,” kata Prof (emeritus) Dr Margono Slamet, pengajar komunikasi dan penyuluhan pascasarjana IPB. Dalam konteks itu, Beliau melihat perubahan Bogor seperti melihat perubahan sosial negeri ini.
Perubahan aset IPB menjadi Mall coba dipahami lulusannya. Dr Ir Andriyono Kilat Adhi, Atase Pertanian Indonesia untuk Uni Eropa periode 2001-2005, melihat IPB memang butuh sumber penghasilan setelah pemerintah menetapkan perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai badan hukum milik negara dengan konsekuensi PTN harus mandiri membiayai pengembangan dirinya.
“Memang setelah kampus pindah ke Darmaga, asrama itu tidak diperlukan lagi. Sayangnya kenapa pilihannya Mall. Ini kan bukan inti kegiatan IPB,” ujar penghuni Asrama Ekalokasari tahun 1980-1984 itu.
Menurut Andriyono, menjelang asrama itu diubah menjadi mall, ada perjanjian akan disediakannya tempat untuk memamerkan produk inovasi IPB di Mall Ekalokasari. Sampai sekarang janji itu tidak dipenuhi. Produk-produk inovasi IPB dipamerkan hanya di kampus Darmaga. Akibatnya orang dari luar IPB malas untuk datang dikarenakan jalan ke Darmaga macet dan melelahkan.
Setidaknya meski telah beralih fungsi dan nama, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, pihak Mall tersebut harus menyediakan tempat untuk memamerkan produk IPB. Paling tidak ada unsur element dari IPB daripada cuma lambangnya saja yang dipasang. Banyak dari dosen dan mahasiswa lulusan IPB mengeluarkan gugatan akan perihal itu. Namun Jawaban terhadap gugatan itu tampaknya harus dicari dari dalam.

Gambar : Perubahan bangunan Asrama IPB Sukasari - Mall Eka Lokasari – Lippo Plaza

Kenangan seperti tak bisa dicari lagi penanda fisiknya. Yang dahulunya adalah Asrama dan tempat ngumpul dewan mahasiswa, sekarang adalah sebuah Mall.

Langgam bangunan yang  digunakan pun sangatlah berbeda, jika dilihat dari segi fasad nya Asrama Sukasari memiliki langgam Arsitektur Tropis, sesuai dengan kota Bogor sebagai Kota Hujan. Sedangkan Langgam pada bangunan satt ini (Lippo plaza)  adalah Arsitektur Modern.
Perubahan memang menuntut konsekuensi, rencana tata ruang umum pun berubah. Asrama IPB Sukasari yang memiliki tebal dinding 30cm ini telah menjadi saksi sejarah orang-orang besar. Dari menteri sampai akademisi, dari penguasaha sampai buruh negeri.


Namun lepas dari itu, keberadaan Lippo Plaza pun menjadi daya tarik tersendiri. Pendapatan penghasilan kota pun bertambah serta bertambahnya ruang lingkup pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Bogor seharusnya menjadi kota klasik. Meski pembangunan tidak bisa ditolak, semestinya cagar budaya, gedung tua, gang-gang kecil dengan sungai-sungai kecil yang khas, juga daerah resapan air harus tetap dijaga sehingga masyarakat pun tidak lupa akan sejarah.



Sumber dan Referensi :